SDI Punya Cerita
Laweyan menjadi salah
satu pusat batik yang tertua dan terkenal di Kota Solo setelah Kampung Batik
Kauman. Kampung ini memiliki luas area 24.83 hektar dan berpenduduk kira-kira
2500 penduduk di mana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang
ataupun pembuat batik. Masjid Laweyan
adalah masjid tertua yang ada di Kota Solo. Masjid Laweyan ini dulu terkenal
dengan Masjid Ki Angeng Henis. Masjid ini menjadi saksi bisu penyebaran islam
di Kota Solo. Arsitektur masjid ini terpengaruh oleh budaya Hindu. Dahulunya Ki
Angeng Henis adalah teman dari seorang Raja dari Kerajaan Pajang. Kerajaan
Pajang ini terpengaruh ajaran Hindu. Ki Ageng Henis adalah penasihat Kerajaan
Pajang dan bersahabat dengan pemuka
agama Hindu. Mereka berdua pun mendirikan salah satu Pura di Laweyan. Pura di
Laweyan ini berubah menjadi Langgar
(Mushola) untuk melayani umat islam saat itu. Dari Langgar Laweyan berubahlah
menjadi Masjid Laweyan ini. Masjid ini terletak di dekat sungai yang menjadi
lalu lintas perdagangan Samanhudi, bernama Sungi anak Bangawan Solo.
Pada tahun 1800an Kampung Lawean tidak boleh
memproduksi batik oleh Belanda. Melihat hal ini, Samanhudi beserta kawan-kawan
bergerak agar kampung Laweyan bisa mandiri. Awalnya Samanhudi suka menulis,
lalu disarankan oleh R.M. Tirtoadisuryo untuk membuat
organisasi dengan menyusun ADRT. Namun, Samanhudi tidak percaya diri, ia rasa
dirinya tidak mempunyai apa-apa. Tirto memanggil Cokro untuk membantu Samanhudi,
Cokro pun datang dari Surabaya. Hingga akhirnya terbentuklah SDI pada tanggal
16 Oktober 1905 diketuai oleh Samanhudi. Konggres pertama SDI bertempat di
Solo. Samanhudi hanyalah lulusan SD, tapi ia mampu menjadi pemimpin Filantropi. SDI bertujuan
untuk memberikan bantuan pada para pedagang pribumi agar dapat bersaing dgn
pedagang Cina. Gambar disamping adalah strutur SDI.
SDI berkembang dengan pesat, 6000
pengusaha mengikuti SDI. Belanda resah, kedudukannya terancam. Belanda mencari
celah agar SDI bisa bubar. ADRT lah sasarannya. Memang saat itu ADRT SDI belum
sempurna sekali, masih banyak hal-hal yang kurang tepat dan rancu. R.M. Tirtoadisuryo pun menyarankan kembali, untuk menyusun kembali
ADRT dan merubah nama menjadi SI (Sarekat Islam). Saat pemilihan ketua, banyak
yang sudah terkena pengaruh dari Belanda, yang menanyakan “Mengapa kalian percaya
terhadap Samanhudi yang hanya lulusan Sekolah Dasar?”. Maka dipilihlah H.O.S. Cokroaminoto sebagai ketua SI, dan Samanhudi sebagai Dewan
Istemewa. Samanhudi tidak langsung turun ke struktur, tetapi dia mengamati
sebagai Penasihat.
SI menerbitkan surat
kabar “Utusan Hindia”. SI berkembang dengan cepat dan mempunyai cabang diberbagai kota.
Perkembangannya dianggap sebagai ancaman pemerintah. Sehingga pergerakannya dibatasi dengan dikeluarkannya
peraturan, yaitu cabang SI harus berdiri sendiri dan terbatas daerahnya. Dibentuklah Central Sarekat Islam (CSI) yang
mengorganisasikan 50 cabang kantor SI daerah.
SI
mengirimkan wakilnya di Volksraad. Di Volkraad, SI memegang peranan
penting di Radicale Concentratie (gabungan perkumpulan yg bersifat
radikal). SI berubah haluan dari
kooperatif menjadi nonkooperatif dan menolak ikut serta dalam dewan rakyat yang
dibentuk pemerintah
Tahun 1914 Kongres SI di Yogya dipilih HOS. Cokroaminoto menjadi pimpinan
SI.Tahun 1916 dlm Kongres tahunan SI, Cokroaminoto menyampaikan pidatonya ttg
perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Dalam kongres itu
dihadiri 80 anggota SI lokal dengan anggotnya sebanyak 36.000 orang. Dianggap
kongres nasional krn SI mempunyai cita-cita spy penduduk Indonesia menjadi satu
nation atau suku bangsa (bangsa Indonesia)
HOS Cokroaminoto adalah guru bagi Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo . Tahun 1917 muncul aliran revolusioner sosialis ditubuh SI
yg berasal dr SI Semarang yang dipimpin
Semaun (anggota ISDV- Indische Sociaal Democratische Vereniging, didirikan H.J.F.M.
Sneevliet, 1914). Pengaruh Sosialis
Komunis yg dibawa Semaun dan tokoh muda lainnya (Darsono, Tan Malaka, dan
Alimin) semakin menjalar di SI. Tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijakan SI
pusat sehingga timbul perpecahan. Perpecahan itu melahirkan SI Merah beraliran
komunis diwakili Semaun, dan SI Putih beraliran nasionalis keagamaan
diwakili Cokroaminoto
Ditetapkanlah disiplin partai agar tidak ada keanggotaan rangkap. Dan Tan
Malaka (Sosialis) meminta pengecualian bagi anggota PKI. Tetapi Disiplin partai
tetap diberlakukan sehingga Semaun
dikeluarkan dari SI. Tahun 1923 Kongres
SI di Madiun, SI Putih berganti
menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) dan memberlakukan disiplin partai, sedang SI
Merah yg didukung PKI menjadi Sarekat Rakyat. Azas perjuangan PSI adalah nonkooperatif (namun tetap
mengijinkan anggotanya duduk dalam Dewan Rakyat atas nama Pribadi). Tahun 1927, Kongres PSI menegaskan azas Organisasi itu
adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. PSI berbagung dengan Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) sehingga nama organisasi PSI ditambah
Indonesia menjadi PSII.
Tahun 1928, dalam Kongres Pemuda PSII ikut aktif mengambil bagian dalam
PPPKI. Banyaknya anggota muda dalam
PSII membawa perbedaan paham antara golongan muda dan tua. Tahun 1923, timbullah perpecahan dalam organisasi PSII
dengan munculnya Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Sukiman yg berpusat di
Yogyakarta. Agus Salim dan A.M. Sangaji mendirikan Barisan Penyadar yg berusaha
menyadarkan diri sesuai tuntutan zaman.
Tahun
1940, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII
yg dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Perpecahan
tersebut menyebabkan kemunduran PSII.
Peranannya
sebagai Partai Islam dilanjutkan oleh PARII dibawah pimpinan dr. Sukiman.